Suara Wanita Bukan Aurat
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah ditanya : “Apakah suara wanita itu aurat ?”. Beliau menjawab :
صوتُها ليس بعورة.
وقد كان النساء يسألن النبي -صلَّى الله عليه وسلَّم-، ويسألنَ الصحابة، ولم ينكر عليهن النبي -صلَّى الله عليه وسلَّم – ذلك.
وإنما العورة: هو خضوعها بالقول وتغنجها، لقوله -سبحانه يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ.
فالمشروع لها: أن يكون صوتها وسطاً، لا خضوع فيه، ولا فحش فيه؛ ولهذا قال : وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا.
فهكذا ينبغي للمرأة أن تكون متوسطة في كلامها، لا مفحشة في القول ولا خاضعة فيطمع الذي في قلبه مرض
وقد كان النساء يسألن النبي -صلَّى الله عليه وسلَّم-، ويسألنَ الصحابة، ولم ينكر عليهن النبي -صلَّى الله عليه وسلَّم – ذلك.
وإنما العورة: هو خضوعها بالقول وتغنجها، لقوله -سبحانه يَا نِسَاء النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَاء إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ.
فالمشروع لها: أن يكون صوتها وسطاً، لا خضوع فيه، ولا فحش فيه؛ ولهذا قال : وَقُلْنَ قَوْلًا مَّعْرُوفًا.
فهكذا ينبغي للمرأة أن تكون متوسطة في كلامها، لا مفحشة في القول ولا خاضعة فيطمع الذي في قلبه مرض
“Suara wanita bukanlah aurat. Dulu para wanita biasa bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat, dan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
 tidak mengingkari perbuatan mereka tersebut. Aurat itu hanyalah jika 
mereka menundukkan dan mendayu-dayukan suara. Hal ini berdasarkan firman
 Allah ta’ala : ‘Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah 
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk
 dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam 
hatinya’ (QS. Al-Ahzaab : 32). Dan yang disyari’atkan bagi wanita 
adalah agar suaranya itu pertengahan saja. Tidak menundukkan, tidak pula
 mengeraskannya. Oleh karena itu Allah berfirman : ‘dan ucapkanlah perkataan yang baik’
 (QS. Al-Ahzaab ; 32). Maka demikianlah yang seharusnya dilakukan oleh 
wanita agar pertengahan dalam perkataannya. Tidak mengeraskannya, tidak 
pula menundukkannya, sehingga dapat membangkitkan syahwat orang yang 
dalam hatinya ada penyakit” [sumber : http://www.binbaz.org.sa/mat/10929].
Laki-Laki Diperbolehkan Mendengarkan Suara Wanita dalam Pelajaran
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah
 pernah ditanya tentang hukum mendengarkan suara wanita yang terekam 
dalam kaset dengan maksud untuk belajar bahasa Inggris. Beliau menjawab :
نعم
 يجوز ذلك إذا كان المقصود الفائدة والعلم، ليس المقصود التَّلذُّذ 
بِصوتِها؛ وإنما أراد بذلك معرفة هذه اللُّغة التي حصل له من طريق التسجيل.
 بارك الله فيكم
“Ya,
 diperbolehkan hal itu apabila dimaksudkan untuk mengambil faedah dan 
ilmu. Bukan dimaksudkan pada perbuatan tersebut untuk bernikmat-nikmat 
dengan suaranya. Yang diinginkan dengannya hanyalah untuk mengetahui 
pelajaran bahasa yang dihasilkan dari jalan rekaman. Semoga Allah 
memberikan barakan kepada engkau” [sumber : http://www.binbaz.org.sa/mat/10610].
Pelajaran yang dibuka para wanita dalam majelis-majelis ilmu mereka sudah ada semenjak dulu. Misalnya, Adz-Dzahabiy rahimahullah ketika menyebutkan tentang biografi Zainab bintu ‘Umar Ad-Dimasyqiy rahimahallah berkata :
قرأ
 عليها ابن سامة "صحيح مسلم" ، وقرأت علينا من أول "الصحيح" ألى أول النكاح
 ، وسمعت ما بقي على ابن عساكر . وسمعت منها عدة أجزاء رحمها الله
“Ibnu Saamah membacakan kepadanya (Zainab) Shahiih Muslim, dan ia (Zainab) membacakan kepada kami (Adz-Dzahabiy) awal kitab Ash-Shahih (Muslim) sampai pada awal kitab An-Nikaah (dalam Shahih Muslim). Dan
 aku mendengar apa yang tersisa (bahasan setelah awal 
kitab An-Nikaah dalam Shahih Muslim) dari Ibnu ‘Asaakir. Aku mendengar 
darinya (Zainab) beberapa juz – semoga Allah memberikan rahmat 
kepadanya” [Taariikhul-Islaam, 52/406-407].
Ibnul-Mulaqqin rahimahullah berkata :
وقد كانوا يسمعون من عائشة رضي الله عنها وغيرها من أمهات المؤمنين من وراء حجاب، ويروونه عنهن اعتمادا على الصوت
“Dan mereka (para shahabat dan tabi’iin) biasa mendengar dari ‘Aiisyah radliyallaahu ‘anhaa dan yang lainnya dari kalangan Ummahaatul-Mukminiin dari balik hijab. Dan mereka meriwayatkan darinya berdasarkan suara (yang terucap dari balik hijab tersebut)” [Al-Muqni’ fii ‘Uluumil-Hadiits, 1/313].
Wanita Diperbolehkan Mengucapkan Salam kepada Laki-Laki Ajnabiy.
حَدَّثَنَا
 إِسْحَاق بْنُ مُوسَى الْأَنْصَارِيُّ، حَدَّثَنَا مَعْنٌ، حَدَّثَنَا 
مَالِكٌ، عَنْ أَبِي النَّضْرِ، أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئِ
 بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ، تَقُولُ:
 ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ 
الْفَتْحِ، فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ تَسْتُرُهُ بِثَوْبٍ، 
قَالَتْ: فَسَلَّمْتُ، فَقَالَ: " مَنْ هَذِهِ؟ " قُلْتُ: أَنَا أُمُّ 
هَانِئٍ، فَقَالَ: " مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ "
Telah
 menceritakan kepada kami Ishaaq bin Muusaa Al-Anshaariy : Telah 
menceritakan kepada kami ma’n : Telah menceritakan kepada kami Maalik, 
dari Abun-Nadlr : Bahwasannya Abu Murrah maulaa Ummu Haani’ bintu Abi 
Thaalib telah mengkhabarkannya, bahwasannya ia mendengar Ummu Haani’ 
berkata : Aku pernah pergi untuk menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada tahun penaklukkan Makkah (‘aamul-Fath). Aku dapati beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam waktu itu sedang mandi dan Faathimah menutupinya dengan kain. Aku pun mengucapkan salam kepada beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Siapakah ini ?”. Aku berkata : “Aku Ummu Haani’”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Selamat datang bagi Ummu Haani’” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2734, dan ia berkata : “Hadits hasan shahih”].
حدثنا موسى قال حدثنا مبارك قال سمعت الحسن يقول كن النساء يسلمن على الرجال
Telah
 menceritakan kepada kami Muusaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada
 kami Mubaarak, ia berkata : Aku mendengar Al-Hasan Al-Bashriy) berkata :
 “Dulu para wanita biasa mengucapkan salam kepada laki-laki” 
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 1046; dihasankan sanadnya oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 398].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وقال ابن بطال عن المهلب سلام الرجال على النساء والنساء على الرجال جائز إذا أمنت الفتنة
“Ibnu
 Baththaal berkata dari Al-Muhallab : Pengucapan salam laki-laki kepada 
wanita dan wanita kepada laki-laki adalah boleh apabila aman dari 
fitnah” [Fathul-Baariy, 11/34].
Seandainya mengucapkan salam secara langsung kepada laki-laki ajnabiy diperbolehkan, maka qiyas aula-nya, menitipkan salam lebih diperbolehkan lagi – selama tidak menimbulkan fitnah.[1]
Catatan :
Ada riwayat dari Waatsilah bin Al-Asqaa’, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
يُسَلِّمُ الرِّجَالُ عَلَى النِّسَاءِ، وَلا يُسَلِّمُ النِّسَاءُ عَلَى الرِّجَالِ
“Laki-laki boleh mengucapkan salam kepada wanita, namun wanita tidak boleh mengucapkan salam kepada laki-laki”.
Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah hal. 123 no. 244, Al-Jurqaaniy dalam Al-Abaathil no. 670, dan Ibnu Hibbaan dalam Al-Majruuhiin 1/370.
 Riwayat ini sangat lemah, karena dalam sanadnya terdapat Bisyr bin ‘Aun
 Al-Quraasyiy dan Bakkaar bin Tamiim. Ibnu Hajar mengatakan sanad 
riwayat ini waahin [Fathul-Baariy, 11/34]. Al-Jurqaaniy mengatakan riwayat ini munkar yang menyerupai baathil. Dinyatakan palsu oleh Al-Albaaniy dalam Adl-Dla’iifah no. 5435.
Laki-Laki Diperbolehkan Mendengarkan Nyanyian Anak-Anak Wanita Saat Pernikahan
أَخْبَرَنَا
 عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَرِيكٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاق، 
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: " دَخَلْتُ عَلَى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ، 
وَأَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، فِي عُرْسٍ وَإِذَا جَوَارٍ 
يُغَنِّينَ، فَقُلْتُ: أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ 
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمِنْ أَهْلِ بَدْرٍ، يُفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ؟ 
فَقَالَ: اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ، فَاسْمَعْ مَعَنَا، وَإِنْ شِئْتَ اذْهَبْ، 
قَدْ " رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ "
Telah
 mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Hujr, ia berkata : Telah 
menceritakan kepada kami Syariik, dari Abu Ishaaq, dari ‘Aamir bin Sa’d,
 ia berkata : Aku masuk menemui Quradhah bin Ka’b dan Abu Mas’ud 
Al-Anshary radliyallaahu ’anhumaa dalam satu pernikahan yang di 
situ terdapat anak-anak perempuan yang sedang menyanyi. Maka aku berkata
 : ”Kalian berdua adalah shahabat Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan
 termasuk ahli Badr. Dan hal ini dilakukan di sisi kalian ?”. Maka salah
 seorang dari mereka menjawab : ”Duduklah jika engkau mau dan dengarkanlah bersama kami. Atau pergilah jika engkau mau. Sungguh Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasalam memberikan rukhshah
 (keringanan) kepada kami mendengarkan hiburan saat pernikahan” 
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3383; dihasankan oleh Al-Albaaniy 
dalam Shahiih Sunan An-Nasaa’iy 2/461].
Di lain riwayat disebutkan bahwa anak-anak wanita tadi bernyanyi sambil memukul duff.
Semerdu-Merdu Suara Wanita
حَدَّثَنَا
 أَبُو رِفَاعَةَ عُمَارَةُ بْنُ وَثِيمَةَ بْنِ مُوسَى بْنِ الْفُرَاتِ 
الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ، أَنْبَأَنَا 
مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ، 
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ 
وَآلِهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ أَزْوَاجَ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَيُغَنِّينَ 
أَزْوَاجَهُنَّ بِأَحْسَنِ أَصْوَاتٍ سَمِعَهَا أَحَدٌ قَطُّ إِنَّ مِمَّا 
يُغَنِّينَ: نَحْنُ الْخَيِّرَاتُ الْحِسَانُ أَزْوَاجُ قَوْمٍ كِرَامٍ 
يَنْظُرْنَ بِقُرَّةِ أَعْيَانٍ، وَإِنَّ مِمَّا يُغَنِّينَ بِهِ: نَحْنُ 
الْخَالِدَاتُ فَلا يُمِتْنَهْ، نَحْنُ الآمِنَاتُ فَلا يَخَفْنَهْ، نَحْنُ
 الْمُقِيمَاتُ فَلا يَظْعَنَّ "
Telah
 menceritakan kepada kami Abu Rifaa’ah ‘Umaarah bin Watsiimah bin Muusaa
 bin Al-Furaat Al-Mishriy : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin 
Abi Maryam : Telah memberitakan kepada kami Muhammad bin Ja’far bin Abi 
Katsiir, dari Zaid bin Aslam, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah 
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam : “Sesungguhnya
 istri-istri penduduk surga mendendangkan untuk para suami mereka dengan
 suara yang sangat indah/merdu yang tidak pernah didengar seorangpun (di
 dunia). Di antara yang mereka dendangkan adalah :
‘Kami adalah para wanita yang cantik jelita,
istri orang-orang yang mulia,
Kami melihat dengan mata yang indah’
Dan juga diantara yang mereka dendangkan :
‘Kami adalah para wanita yang kekal dan tidak akan mati,
kami adalah wanita yang aman tanpa ada takut
Kami adalah para wanita yang menetap dan tidak akan pindah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Ash-Shagiir no. 259; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiihul-Jaami’ no. 1561]. 
حَدَّثَنَا
 مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ، عَنْ 
الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، فِي قَوْلِهِ عَزَّ 
وَجَلَّ: فَهُمْ فِي رَوْضَةٍ يُحْبَرُونَ، قَالَ السَّمَّاعُ: وَمَعْنَى 
السَّمَّاعِ: مثل ما ورد في الحديث " أَنَّ الْحُورَ الْعِينَ يُرَفِّعْنَ 
بِأَصْوَاتِهِنَّ "
Telah
 menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar : Telah menceritakan 
kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah, dari Al-Auzaa’iy, dari Yahyaa bin Abi 
Katsiir tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Mereka di dalam taman (surga) bergembira’ (QS. Ar-Ruum : 15), ia berkata : “As-sammaa’ (nyanyian). Dan makna as-sammaa’
 (nyanyian) adalah semisal yang terdapat dalam hadits bahwa para 
bidadari mengeraskan suara-suara mereka” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy
 no. 2507; shahih].
Mengapa Wanita Tidak Bertasbih Saat Imam Salah Ketika Shalat?
أنا
 أَبُو الْحَسَنِ، أنا أَبُو مُحَمَّدٍ، قَالَ: أَخْبَرَنَا أَبِي، ثنا 
حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ: سَمِعْتُ الشَّافِعِيَّ، يُفَسِّرُ 
حَدِيثَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " التَّسْبِيحُ 
لِلرِّجَالِ، وَالتَّصْفِيقُ لِلنِّسَاءِ "، قَالَ: لأَنَّ صَوْتَ 
الْمَرْأَةِ يَفْتِنُ فِي غَيْرِ صَلاةٍ، فَكَرِهَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
 عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَكُونَ فِي الصَّلاةِ تَفْتِنُ النَّاسَ 
بِصَوْتِهَا
Telah
 mengkhabarkan kepada kami Abul-Hasan : Telah mengkhabarkan kepada kami 
Abu Muhammad, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku : 
Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahyaa, ia berkata : Aku 
mendengar Asy-Syaafi’iy menafsirkan hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘tasbih adalah untuk laki-laki dan tepuk-tangan adalah untuk wanita’; ia berkata : “Hal itu dikarenakan suara wanita dapat menimbulkan fitnah di luar aktifitas shalat, sehingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam membenci hal tersebut ada dalam shalat, yang akan membuat manusia terfitnah dengan suaranya” [Aadaabusy-Syaafi’iy wa Manaaqibuhu, 1/105]. 
Ibnul-‘Arabiy Al-Maalikiy rahimahullah ketika menjelaskan hadits tersebut berkata :
يعني كلامهن عورة فلا يظهرنه
“Yaitu (karena) perkataan mereka adalah ‘aurat[2], maka tidak boleh dinampakkan” [‘Aaridlatul-Ahwadziy, 1/164].
Wanita Tidak Mengeraskan Suaranya Ketika Bertalbiyyah
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
قال
 ابن عبد البر : أجمع العلماء على أن السنة في المرأة أن لا ترفع صوتها ، 
وإنما عليها أن تسمع نفسها . وبهذا قال عطاء ، ومالك ، والأوزاعي ، 
والشافعي ، وأصحاب الرأي
“Ibnu
 ‘Abdil-Barr berkata : Para ulama telah bersepakat bahwa yang disunnah 
bagi wanita adalah tidak mengeraskan suaranya (ketika bertalbiyyah). 
Cukup baginya untuk bersuara yang dapat didengar oleh dirinya. Pendapat 
inilah yang dikatakan oleh ‘Athaa’, Maalik, Al-Auzaa’iy, Asy-Syaafi’iy, 
dan ashhaabur-ra’yi” [Al-Mughniy, 3/317].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata :
السُّنَّةُ : أَنْ لَا تَرْفَعَ صَوْتَهَا ، حَكَاهُ ابْنُ الْمُنْذِرِ إجْمَاعًا
“Yang sunnah adalah wanita tidak mengeraskan suaranya (ketika bertalbiyyah). Dihikayatkan adanya ijma’[3] oleh Ibnul-Mundzir (akan permasalahan ini)” [Al-Inshaaf, 6/176].
نا
 أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنِ الْبُهْلُولِ، نا مُؤَمَّلُ بْنُ إِهَابٍ، 
نا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ. ح وَثنا مُحَمَّدُ بْنُ مَخْلَدٍ، نا 
الْعَبَّاسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، نا أَبُو دَاوُدَ الْحَفَرِيُّ، نا سُفْيَانُ،
 عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، 
قَالَ: " لا تَصْعَدُ الْمَرْأَةُ فَوْقَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، وَلا 
تَرْفَعُ صَوْتَهَا بِالتَّلْبِيَةِ "
Telah
 mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Ishaaq Al-Buhluul : Telah 
mengkhabarkan kepada kami Muammal bin Ihaab : Telah mengkhabarkan kepada
 kami Abu Daawud Al-Hafariy (ح).
 Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Makhlad : Telah 
mengkhabarkan kepada kami Al-‘Abbaas bin Muhammad : Telah mengkhabarkan 
kepada kami Abu Daawud Al-Hafariy : Telah mengkhabarkan kepada kami 
Sufyaan (Ats-Tsauriy), dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari 
Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Wanita tidak boleh naik di atas Shafaa dan 
Marwah, dan tidak boleh mengeraskan suaranya saat bertalbiyyah” 
[Diriwayatkan oleh Ad-Daaruquthniy no. 2767; shahih].
Segala Sesuatu Kecuali Perkataannya
أَخْبَرَنَا
 يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا عُيَيْنَةُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ 
بْنِ جَوْشَنٍ عَنْ مَرْوَانَ الْأَصْفَرِ عَنْ مَسْرُوقٍ قَالَ قُلْتُ 
لِعَائِشَةَ مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ امْرَأَتِهِ إِذَا كَانَتْ 
حَائِضًا قَالَتْ كُلُّ شَيْءٍ غَيْرُ الْجِمَاعِ قَالَ قَلْتُ فَمَا 
يَحْرُمُ عَلَيْهِ مِنْهَا إِذَا كَانَا مُحْرِمَيْنِ قَالَتْ كُلُّ شَيْءٍ
 غَيْرُ كَلَامِهَا
Telah
 mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haruun : Telah menceritakan kepada
 kami ‘Uyainah bin ‘Abdirrahmaan bin Jausyan, dari Marwaan Al-Ashfar, 
dari masruuq, ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aaisyah : “Apa yang 
dihalalkan bagi laki-laki dari istrinya yang sedang haidl ?”. Ia 
menjawab : “Segala sesuatu kecuali jima’ (hubungan seks)”. Aku 
bertanya kembali : “Apa yang diharamkan laki-laki terhadap istrinya 
apabila keduanya sedang melaksanakan ihram ?”. Ia menjawab : “Segala 
sesuatu kecuali (mendengarkan) perkataannya” [Diriwayatkan oleh 
Ad-Daarimiy no. 1079; shahih].
Teriakan Wanita
حَدَّثَنَا
 مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى النَّيْسَابُورِيُّ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ 
يُوسُفَ، عَنْ إِسْرَائِيلَ، حَدَّثَنَا سِمَاكُ بْنُ حَرْبٍ، عَنْ 
عَلْقَمَةَ بْنِ وَائِلٍ الْكِنْدِيِّ، عَنْ أَبِيهِ " أَنَّ امْرَأَةً 
خَرَجَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
تُرِيدُ الصَّلَاةَ، فَتَلَقَّاهَا رَجُلٌ فَتَجَلَّلَهَا، فَقَضَى 
حَاجَتَهُ مِنْهَا، فَصَاحَتْ، فَانْطَلَقَ، وَمَرَّ عَلَيْهَا رَجُلٌ، 
فَقَالَتْ: إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا، وَمَرَّتْ 
بِعِصَابَةٍ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ، فَقَالَتْ: إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ 
فَعَلَ بِي كَذَا وَكَذَا، فَانْطَلَقُوا، فَأَخَذُوا الرَّجُلَ الَّذِي 
ظَنَّتْ أَنَّهُ وَقَعَ عَلَيْهَا وَأَتَوْهَا، فَقَالَتْ: نَعَمْ هُوَ 
هَذَا، فَأَتَوْا بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ 
فَلَمَّا أَمَرَ بِهِ لِيُرْجَمَ، قَامَ صَاحِبُهَا الَّذِي وَقَعَ 
عَلَيْهَا، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَنَا صَاحِبُهَا، فَقَالَ 
لَهَا: اذْهَبِي فَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكِ وَقَالَ لِلرَّجُلِ قَوْلًا 
حَسَنًا، وَقَالَ لِلرَّجُلِ الَّذِي وَقَعَ عَلَيْهَا: ارْجُمُوهُ، 
وَقَالَ: لَقَدْ تَابَ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا أَهْلُ الْمَدِينَةِ 
لَقُبِلَ مِنْهُمْ "
Telah
 menceritakan kepada kami Muhammad bin yahyaa An-Naisaabuuriy : Telah 
menceritakan kepada kami Muhammad bin Yuusuf, dari Israaiil : Telah 
menceritakan kepada kami Simaak bin Harb, dari ‘Alqamah bin Waail 
Al-Kindiy, dari ayahnya : Ada seorang wanita di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
 keluar rumah hendak melakukan shalat. Lalu ia berjumpa dengan seorang 
laki-laki, yang kemudian ia (laki-laki) memperkosanya. Setelah selesai 
memperkosanya, wanita itu berteriak-teriak. Laki-laki tadi pun kabur. 
Lalu ada seseorang yang melewatinya. Wanita itu berkata kepadanya : 
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki melakukan begini dan begitu 
kepadaku”. Lalu lewat pula sekelompok orang dari kaum Muhaajiriin, dan 
wanita itu berkata kepada mereka : “Sesungguhnya ada seorang laki-laki 
yang melakukan begini dan begitu kepadaku”. Mereka pun pergi, yang 
kemudian menangkap seorang laki-laki yang diduga memperkosa si wanita 
tadi, lalu mereka pun membawa laki-laki tersebut kepadanya (si wanita). 
Wanita itu berkata : “Benar, dialah orangnya”. Mereka pun membawa 
laki-laki itu kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
 agar laki-laki itu dirajam, maka berdirilah seorang laki-laki yang 
sebenarnya memperkosa si wanita. Ia berkata : “Wahai Rasulullah, akulah orangnya (yang memperkosa wanita itu)”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada si wanita : “Pergilah, Allah telah mengampunimu (karena salah tuduh)”.
 Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada laki-laki 
pertama yang dituduh tadi dengan perkataan yang baik. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada laki-laki yang memperkosa : “Rajamlah ia”. Beliau kemudian bersabda : “Sungguh,
 ia telah bertaubat dengan satu taubat yang seandainya penduduk Madiinah
 bertaubat dengannya, niscaya akan diterima (oleh Allah)” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1454, dan ia berkata : “Hadits ini hasan ghariib shahih”. Dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah, 2/567-569 no. 900].
Al-Haafidh Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
وقد
 أجمع العلماء على ان [ على ] المستكره المغتصب الحد ان شهدت البينة عليه 
بما يوجب الحد او اقر بذلك فان لم يكن فعليه العقوبة ولا عقوبة عليها اذا 
صح انه استكرهها وغلبها على نفسها وذلك يعلم بصراخها واستغاثتها وصياحها
“Para ulama telah bersepakat diberlakukannya hadd bagi pelaku pemerkosaan apabila terdapat bukti yang mewajibkan baginya hadd atau si pelaku mengakui perbuatannya. Jika tidak memenuhi dua hal tersebut (adanya bukti atau pengakuan – Abul-Jauzaa’), maka baginya hukuman (ta’zir).
 Tidak ada hukuman baginya (si wanita) apabila terbukti tidak 
menginginkannya dan dipaksa. Hal itu diketahui dengan suaranya, 
permintaan tolongnya, dan teriakannya” [Al-Istidzkaar, 7/146].
Ini saja yang dapat dituliskan. Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – sardonoharjo, ngaglik, sleman, diy – 10052012].
[1]      An-Nawawiy rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits Jibriil yang menitipkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa :
وفيه بعث الأجنبي السلام إلى الأجنبية الصالحة إذا لم يخف ترتب مفسدة
“Dalam hadits itu terdapat dalil kebolehan seorang laki-laki ajnabiy mengirimkan salam kepada wanita ajnabiyyah yang shaalihah, apabila tidak khawatir menimbulkan mafsadah” [Syarh Shahiih Muslim, 15/211 – atau bisa dibaca di sini].
[2]
      Permasalahan ini (yaitu : apakah suara wanita adalah ‘aurat) 
merupakan permasalahan yang dikhilafkan para ulama [lihat kitab : Shautun-Nisaa’ oleh Dr. Yuusuf bin ‘Abdillah Al-Ahmad, taqdim : Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan].

 
 



0 komentar
Post a Comment