Nama lengkapnya Tsabit bin Qois bin Syamas al-Khozrojy al-Anshory. Biasa dipanggil Abu Muhammad. Beliau adalah ‘juru bicara’ ulung kaum Anshor sebelum Islam, dan setelah Islam beliau adalah oratornya Rasulullah.
Pada waktu anak pertamanya lahir, beliau bawa anaknya ke Rasulullah. Oleh Rasulullah anaknya itu diajari makan dengan kurma basah dan diberi nama Muhammad. Beliau mempunyai tiga orang anak. Semua anaknya meninggal di medan perang. Beliau pernah ikut dalam perang Uhud bersama Rasulullah.
Diceritakan bahwa biasanya beliau duduk harus dekat Rasulullah sehingga telingga bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan Rasulullah. Sebab beliau adalah juru bicara Rasulullah. Suatu hari beliau datang terlambat dalam suatu majlis yang dihadiri Rasulullah. Beliau berusaha lewat dan jalan di kerumunan orang. Kadang-kadang beliau berkata; “tolong kasih jalan, minggir.” Seorang laki-laki berkata padanya; “Kamu udah dapat tempat duduk, duduklah.” Setelah itu beliau duduk sambil marah-marah dan mengumpat orang tadi. “Siapa kamu ini” tanya beliau. Oarnag itu menjawab; “Saya, si fulan.” Beliau berkata; “Ibn fulanah (anak dari ibu…).” Dalam tradisi jahiliyah menyebut nama ibunya adalah suatu perkara yang aib dan hina karena secera tidak langsung itu adalah hinaan. Orang tadi menundukkan kepalanya karena malu. Dari sinilah turun firman Allah; “Wahai orang-orang beriman, jangan lah suatu kaum menghina kaum lainnya, bisa jadi kaum yang dihina itu lebih baik. Begitu jangan lah wanita menghina wanita lain, boleh jadi dia lebih baik dari wanita yang menghina….(QS.al-Hujarot:11).
Suatu hari salah satu istrinya, bernama Habibah binti Sahal datang kepada Rasulullah. Wanita itu datang untuk meminta agar diceraikan dari Tsabit bin Qois. Rasulullah bertanya; “Apakah kamu mau mengembalikan apa-apa yang dia berikan?” wanita itu menjawab; “Wahai Rasulullah, apa yang dia berikan itu adalah milikku. Setelah itu Rasulullah berkata Tsabit; “Kalau begitu, ambi darinya.”
Pada waktu terjadi perang Bani Mushtoliq, beliau menawan Juwairiyah binti al-Harits. Kemudian wanita itu meminta untuk memerdekakan dirinya. Wanita itu pun pergi menemui Rasulullah. Wanita itu memohon Rasulullah untuk menentukan jumlah uang untuk memerdekakan dirinya. Rasulullah bertanya; “Apakah kamu punya sesuatu lebih baik dari itu?” Wanita itu menjawab; “Apa itu?” Rasulullah berkata; “Saya akan memerdekakan kamu dan setelah itu menikah kamu.” Wanita itu menjawab; “Baiklah, Rasulllah.” Rasulullah berkata; “Kamu sudah sudah merdeka.”
Suatu hari Rasulullah datang menjenguk Tsabit yang sedang sakit di rumahnya. Rasullah berdo’a; “Ya Allah, Tuhan semua manusia, berikanlah kesembuhan Tsabit bin Qois dari sakitnya.”
Firman Allah; “Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian mengangkat suaramu melebihi suara Nabi…(QS.al-Hujarot:2) turun di Tsabit bin Qois. Beliau adalah orang yang sangat berat telingganya dan bicara keras. Kalau bicara dengan orang lain, bicaranya keras-keras. Barangkali beliau pernah berbicara dengan Rasulullah dengan suara keras-keras sehingga suara itu menganggu Rasulullah. Maka Allah turunkan ayat ini. Pada waktu ayat itu diturunkan, Tsabit sedang duduk di jalan sambil menanggis. Kemudian ‘Ashim bin ‘Adwi dari Bani al-‘Ajlan lewat. Dia bertanya padanya; “Apa yang membuat kamu menangis?” Beliau menjawab; “Ayat ini. Saya takut bahwa ayat itu turun (peringatan) untukku.” Ketika Rasulullah mendengar tentang hal itu, Rasulullah bertanya kepada Tsabit; “Apakah kamu ridho hidup terpuji atau terbunuh sebagai seorang syahid kemudian kamu masuk surga?” Beliauu menjawab; “Saya ridho dengan kabar gembira yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Saya tidak akan bicara dengan Rasulullah dengan suara keras.” Setelah itu turun firman Allah: “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya ketika bicara denga Rasulullah, merekalah oarang-orang yang diuji hatinya oleh Allah agar menjadi takwa, ampunan dan pahala yang besar”(QS.al-Hujarot;2)
Mengenai pribadinya, Rasulullah pernah berkata; “Tsabit adalah laki-laki yang beruntung.” Selama hidup berjuang bersama Rasulullah, beliau ikut dalam perang Uhud. Begitu juga dengan peperangan yang lain. Hanya satu perang Badr yang tidak ikut. Pengorbanannya sunguh luar biasa besarnya!!
Pada waktu perang melawan orang-orang yang murtad (hurub Riddah), beliau selalu berada di barisan depan, membawa bendera kaum al-Anshor dan tidak henti-henti mengayuh pedang ke musuhnya. Begitu juga pada waktu perang Yamamah. Ketika itu beliau melihat serangan dahsyat yang dilancarkan kelompok tentara Musailamah al-Kazzab terhadap umat Islam. Dengan suara keras dan lantang beliau berkata; “Demi Allah, bukan seperti ini kami biasa berperang bersama Rasulullah.” Setelah itu beliau pergi ke suatu tempat yang tidak jauh dan kembali ke tempat asal dengan pakian perang. Dengan suara lantang beliau berteriak; “Ya Allah, saya serahkan perkara ini (lambatnya umat Islam dalam berperang) kepadamu.” Salim budak Abu Khudaifah ikut bergabung dengannya. Salim juga membawa bendara kaum al-Anshor. Keduany membuat lubang yang agak dalam. Kemudian keduanya turun ke lubah sambil berdiri. Pasukan pemanah berdiri dibelakangnya hingga menutup bagian tengahnya. Beginilah cara mereka membuat taktik perang. Setiap musuh datang mendekat, keduanya menyerang dengan pedang. Hingga akhirnya keduanya terbunuh sebagai syahid.
Ketika firman Allah; “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri (QS.an-nisa;36) turun, beliau menutup pintu rumahnya. Duduk sendirian di rumah sambil menangis. Hatinya merasa terenyuh dengan isi firman Allah tersebut. Begitu lama waktu yang dibutuhkan untuk merenung. Hingga akhirnya beliau melaporkan kegundahan hatinya kepada Rasulullah. Di hadapan Rasulullah beliau berkata; “Wahai Rasulullah, saya ini senang dengan pakian dan sandal bagus. Saya takut bahwa kedua hal tersebut termasuk kesombongan dan bangga diri.” Dengan senyum Rasulullah menjawab; “Kamu bukan termasuk golongan itu (yang sombong dan membanggakan diri). Tapi kamu hidup dalam kebaikan dan mati juga dalam kebaikan. Dan Inysa Allah akan masuk surga.” Wajahnya menjadi ceria dan gembira setelah mendegar penjelasan dari Rasulullah.
Beliau mempunyai baju perang yang sangat bagus dan mahal. Setelah gugur dalam pertempuran dengan kelompok Musailamah al-Kazzab, seorang laki-laki dari umat Islam berjalan melewati mayat beliau. laki-laki itu melihat baju perang menempel di mayat beliau. Akhirnya baju perang itu dilucutinya dan diambilnya. Hari besoknya, seorang dari umat Islam bermimpi. Dalam mimpinya orang itu bertanya kepada laki-laki tersebut; “Saya Tsabit bin Qois, apakah kamu tahu saya?” laki-laki itu menjawab; “Iya.” Orang itu berkata; “Saya ingin mewasiatkan sesuatu kepadamu. Maka jangan sekali-kali kamu katakan bahwa ini adalah mimpi kemudian kamu tidak menjalankan wasiat ini. Ketika aku terbunuh kemarin, seorang laki-laki berjalan melewati diriku. Wajahnya begini dan begitu. Tubuhnya begini dan begitu.
Kemudian laki-laki itu mengambil baju perangku dan berjalan menuju ke kemahnya di Camp dari kelompok si sulan. Baju itu diletakkan di bawah pancinya dan di atas panci itu diletakkan rahl (sesuatu yang diletakkan di punggung hewan). Tolong kamu datang ke Kholid bin Walid dan katakan padanya untuk mengutus orang untuk mengambil baju perang itu.
Baju perang itu masih ada di tempatnya. Dan saya wasiatkan sesuatu yang lain. Jangan kamu katakan bahwa ini adalah mimpi tidur hingga kamu tidak menjalankan wasiat ini. Katakan pada Kholid bin Walid sekiranya dia kamu datang menghadap kholifah di Madinah katakan padanya bahwa saya mempunyai hutang dengan si fulan dan jumlahnya sekian. Juga bahwa si fulan dan fulan dari hamba sahanya harus dimerdekakan. Maka lunasi hutangku dan merdekakan dua budak tadi…” Ketika orang itu terbangun dari tidurnya, orang itu langsung pergi menghadap Kholid bin Walid dan menceritakan mimpinya itu. Setelah mendengar penjelasannya, Kholid bin Walid mengutus orang untuk mengambil baju perang itu. Baju perang itu berada persis di tempat yang diceritakan dalam mimpinya. Setelah Kholid balik ke Madinah, Kholid menceritakan kabar Tsabit dan wasiatnya kepada kholifah Umar bin Khottob. Umar pun membolehkan wasiat itu untuk dijalankan.
Dalam sejarah Islam hanya sekali saja diperbolehkan menjalankan wasiat dari orang yang sudah mati. Sebelum dan sesudah Tsabit, wasiat semacam itu tidak dibolehkan.
0 komentar
Post a Comment