A.
Profil Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg, Jerman
pada tanggal 11 Februari tahun 1900. Ia terlahir sebagai anak kedua dari pasangan
Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928).
Sejak berumur 2 tahun, ia pindah di kota Breslu (sekarang dikenal dengan nama
Wroclau, Polandia) karena ayahnya diminta menjadi profesor luar biasa di
Universitas Breslau. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga penganut Protestan
yang taat dan konservatif. Ibunya meninggal ketika Gadamer berusia 4 tahun
karena terserang penyakit diabetes. Walaupun besar dalam keluaraga Protestan
yang taat, Gadamer memilih bungkam jika disodori pertanyaan mengenai imannya.
Ayah Gadamer menginginkannya untuk mengikuti
jejak sang ayah sebagai ilmuan eksak (ilmu alam). Tetapi Gadamer yang sekolah
menengahnya di Holy Gost School dari tahun 1907 sampai 1918 menunjukan minatnya
bersebrangan dengan ayahnya. Dia lebih tertarik dengan ilmu humaniora,
khususnya sastra dan filologi. Selepas pendidikan menengah, Gadamer akhirnya
memasuki fakultas non-eksak di Universitas Breslau jurusan filologi. Tidak
sampai satu tahun, Gadamer pindah ke Universitas Marburg. Di kampus inilah ia
menyelesaikan desertasinya berjudul “The Nature of Pleasure According to
Plato’s Dialogues” di bawah bimbingan Paul Natorp.
Setamatnya dari Universitas Maburg, Gadamer
mencari pekerjaan sebagai dosen privat dengan syarat harus menyelesaikan Habilitation
Schrift terlebih dahulu. Akhirnya dia memperoleh kedudukan sebagai privatdozent
dengan Habilitation berjudul “ Studies on Greek Philosophy of
Nature” dengan mengikuti kuliah Martin Heidegger tahun 1923 di Universitas
Freiburg.
Gadamer mulai dikenal luas ketika menerbitkan
buku Truth and Method tahun 1960, sebuah proyek intelektual yang telah
di rintisnya sejak awal tahun 50-an.ketika pensiun di tahun 1968, Gadamer sudah
mendapat nama internasional. Hingga akhirnya ia wafat pada tanggal 13 Maret
2002 di Rumah sakit Universitas Heidelberg. Gadamer telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting
abad XX, diantaranya Revolusi Bolshevik di Rusia, dua Perang Dunia, terbelahnya
Jerman menjadi dua blok, Keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989, dan yang paling
akhir, Peristiwa 11 september 2000[1]
B.
Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika
berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermenia yang masing-masing berarti “menafsirkan” dan
“penafsiran”. Dalam bahasa Inggrisnya
adalah hermeneutics. Istilah tersebut
dalam
berbagai bentuknya dapat
dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan
Yunani Kuno, seperti yang digunakan Aristoteles
dalam sebuah risalahnya yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran). Selain itu, sebagai sebuah terminologi hermeneutika juga bermuatan
pandangan hidup (worldview) dari para penggagasnya.
Dalam
tradisi Yunani, istilah hermeunetika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios),
seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan
menerjemahkan pesan dewa ke daam bahasa manusia. Di sini terlihat bahwa posisi
Hermes sangat penting sebagai penafsir kehendak dan keinginan dewa, sebab jika
salah akan berakibat fatal bagi kehidupan. Ebeling membuat interpretasi yang banyak dikutip mengenai
proses penerjemahan yang dilakukan Hermes.
Proses tersebut mengandung
tiga makna
hermeneutis yang mendasar yaitu:
1) mengungkapkan sesuatu yang tadinya
masih dalam
pikiran melalui kata-kata sebagai
medium penyampaian; 2)
menjelaskan secara
rasional sesuatu
yang
sebelumnya
masih samar-samar sehingga
maknanya dapat dimengerti; dan 3) menerjemahkan suatu bahasa
yang asing ke dalam yang lain. yang lebih dikuasai pembaca.
Tiga pengertian tersebut yang terangkum dalam
pengertian “menafsirkan” (interpreting, understanding).
sesungguhnya
berusaha juga melahirkan
kembali makna tersebut
sesuai
dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Komponen pokok
dalam kegiatan penafsiran dengan metode hermeneutika yakni teks, konteks,
dan kontekstualisasi. Keberadaan konteks dan seputar
teks tidak bisa dinafikan jika kita ingin memperoleh
pemahaman yang tepat terhadap
teks. Sebab, kontekslah yang
menentukan makna teks,
bagaimana teks tersebut harus dibaca, dan seberapa jauh teks tersebut harus dipahami.
Dengan demikian, teks yang sama dalam waktu yang sama dapat memiliki makna
yang berbeda
di mata
“penafsir” yang berbeda; bahkan seorang
penafsir yang sama dapat memberikan pemahaman teks yang sama secara berbeda-beda ketika
ia berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.8Ada tiga pemahaman yang dapat
diperoleh
dari perbincangan hermeneutika yaitu: pertama, hermeneutika dipahami sebagai
teknik praksis pemahaman atau penafsiran. Kedua, hermeneutika dipahami sebagai sebuah metode penafsiran. Ketiga, hermeneutika
dipahami sebagai
filsafat penafsiran.
Penafsiran teks dalam perkembangan sebelumnya mencangkup
masalah penafsiran secara menyeluruh. Tekstualitas yang menjadi arena
beroperasinya kerja hermeneutika telah diperluas maknanya, terutama oleh Schleiermacher. Perkembangan muta’akhir menunjukkan, hermeneutika
dipahami sebagai sebuah
teori,
metodologi,
dan praksis
penafsiran, yang digerakkan ke arah penangkapan
makna dari sebuah teks atau sebuah analog teks, yang secara temporal atau secara kultural berjarak jauh, atau dikaburkan oleh ideology dan kesadaran
palsu.10 Pada titik ini,
hermeneutika lantas beranjak pada pemikiran reflektif dan spekulatif
terkait dengan upaya
manusia memahami
proses
penafsiran. Dalam
bahasa Gadamer, hermeneutika dipandang sebagai einethorie der wirklichen
erfahrung, yaitu suatu usaha filosofis untuk mempertanggungjawabkan
pemahaman
sebagai proses ontologis
dalam manusia.[2]
C.
Karya-karya Gadamer
Gadamer mempublikasikan karya-karyanya ke
dalam berbagai bahasa di dunia. Keseluruhan karya itu telah dikumpulkan dalam
edisi khsusus sebanyak 10 jilid Gassamelte Werke (The Complete Works).
Karya utama Gadamer adalah Truth and Method, di dalamnya terangkum
pemikiran-pemikiran inti yang telah ia rintis sejak masa perkuliahan.
Karya-karya lain Gadamer yaitu,
a. Karya
dalam bahasa Jerman
-
Der Anfong der Philosophie. Stuttgart: Reclam, 1996
-
Das Erbe Europas: Beitrnge. Frankfurt: Suhrkamp, 1989
-
Uber die Verborgenheit der Gesundheit. Frankfurt: Suhrkamp, 1993
-
Hermeneutische Entwiirfe. Tubingen: Mohr Siebeck, 2000
b. Terjemahan
dalam Bahasa Inggris
-
The Beginning of Philosophy. Translated by Rod Coltman (New York: Continuum,
1998)
-
Dialogue and Deconstuction: The Gadamer-Derrida Encounter. Edited and
translated by Diane P. Michelfder and Richard E. Palmer (Albany; Suny Press,
1989)
-
Dialogue and Dialectic: Eight Hermeneutical Studies on Plato. Transleted and
edited by P. Christopher Smith (New Haven: Yale University Press, 1980)
-
The Enigma of Health: The Art of Healing in a Scientific Age. Transleted by J.
Gaiger and N Walker (Standford: Standford University Press, 1980). Dsb.[3]
D.
pandangan Gadamer tentang hermeneutika
Dasar dari Hermeneutika Gadamer adalah
retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam sejarahnya, retorika dan
hermeneutika memang selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan
pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Dalam
beberapa tulisannya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah
ilmu pengetahuan terutama ilmu sosial. Gadamer menjadikan etika sebagai dasar
bagi hermeneutika dengan tujuan utamanya sama, yakni melepaskan hermeneutika
dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya
instrumental.[4]
Gadamer menyatakan bahwa hermeneutika adalah seni, bukan
proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa hermeneutik, maka pemahaman tidak bisa digunakan sebagai proses mekanis. Pemahaman dan
hermeneutik hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni dan tidak bisa
disiapkan terlebih dahulu sebelum dibuat, tidak dapat diramalkan atau dikatakan
sebelumnya.
Hermeneutik harus menghasilkan suatu esensi dalam batiniah
yang merupakan realitas utama dan benar. Gadamer juga menyatakan interprestasi
adalah penciptaan kembali meskipun bukan perbuatan yang kreatif. Hermeneut
(penafsir) selalu memahami realitas dan manusia dengan titik tolak sekarang
atau kotemporer. Dan apabila seorang hermeneut berinterprestasi mulai dari
titik tolak sejarah yang menguntungkan dirinya sendiri, hal ini akan
menimbulkan suatu pencampuran kebudayaan yang bermacam-macam. Tidak ada
cakrawala yang tertutup yang melingkari kebudayaan adalah abstraksi.
Dalam uraian tersebut refleksi hermeneutik menjadi penting bila kita berhubungan dengan manusia yang
pengalaman-pengalamannya tidak selalu bisa dipilah dan dikategorikan. Menurut
Gadamer “ Refleksi hermeneutik tentang syarat-syarat pemahaman nyatalah dalam
kemungkinan-kemungkinan menyatakan diri dalam kesadaran yang merumuskan
pemahaman dalam sebuah bahasa tidak mulai dari nol atau berakhir pada
ketidaktentuan. Model filsafat praktis ini harus mampu berfungsi sebagai
theoria yang legistimasi-ontologisnya hanya dapat ditemukan di dalam
intellectus infinitus (pemikiran yang luas) yang tidak dikenal dalam pengalaman
eksistensial karena tidak di dukung oleh wahyu”[5]
Dari reproduksi ke produksi makna
sejarah. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa tokoh-tokoh hermeneutik romantik berhasil meneguhkan
hermeneutik sebagai metode yang sesuai untuk ilmu-ilmu kemanusiaan (geiteswissenschaften).
Hal ini dimaksudkan agar terjadi pemilihan yang spesifik antara ilmu-ilmu
kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Sebab pada praktiknya, ternyata ada
perbedaan dalam obyek dan penggunaan metode antara kedua cabang ilmu tersebut.
Salah satu concern (perhatian) dari tokoh-tokoh hermeneutik romantik
adalah sejarah atau kajian tentang teks-teks masa silam.[6]
Pemikiran Gadamer secara umum
dilatarbelakangi oleh fenomenologi dan bangunan sendi-sendi pemikiran universal
yang dialektika-spekulatif. Namun, pemikirannya tentang hermeneutik sebagaimana
diakui sendiri oleh Gadamer, secara khusus merupakan inspirasi dari dan reaksi
terhadap pemikiran Dilthey dan Schleiermacher dan para pengikut mereka yang
dipandang oleh Gadamer terlalu bersifat idealistik.
Menurut Schleimacher, agar seorang mampu membaca teks-teks masa lalu, ia
harus mampu menangkap pesan asli yang dikehendaki oleh pengarangnya. Untuk bisa
sampai kepada maksud tersebut, hendaknya memposisikan dirinya sebagai pembaca
kala teks itu ditulis. Ia membayangkan kala teks itu disusun. Hal ini dimaksudkan
agar pembaca terhadap teks benar-benar mendalam dan tidak terjadi distorsi.
Jadi, agar seorang mampu merekonstruksi sejarah, maka ia harus keluar dari
konteks sejarahnya sendiri dan berusaha memasuki sejarah pengarangnya, “re-living
and re-thinking the thoughts and feelings of an author”. Pandangan diatas
dilanjutkan oleh Dilthey, Dilthey berpandangan bahwa tugas utama hermeneutik
adalah menemukan makna asli atau makna yang di kehendaki pengarangnya. Agar
seseorang bisa mengalami atau seolah-olah menghayati situasi historis
pengarang, maka ia harus memahami kondisi psikologis sang pengarang. Oleh
karena itu, seorang interpreter disamping memiliki pengetahuan yang lalu
tentang sejarah, dianjurkan mempunyai kemampuan menganalisis kondisi psikologi
seseorang.
Gadamer menolak pandangan tersebut. Baginya hermeneutik tidak harus
menemukan arti sebuah teks. Interpretasi bagi Gadamer tidak sama dengan
mengambil suatu teks, kemudian mencari makna yang diletakkan oleh pengarang ke
dalam teksnya. Arti suatu teks tidak hanya terbatas pada pengarang saja, tetapi
tetap terbuka bagi adanya penafsiran baru yang sesuai dengan kreatifitas sang
penafsir. Bahkan baginya tidak ada jaminan bagi pengarang asli untuk menafsiran
ideal atas karyanya. Pandangan ini mengindifikasikan bahwa suatu karya yang
sudah dituangkan dalam tulisan sepenuhnya menjadi pemilik pembaca. Karena itu
interpretasi tidak sebatas “merekonstruksi makna” tetapi juga “memproduksi
makna”.[7]
Memahami masa lalu bukan berarti menghadirkannya kepada kita, melainkan
mentransformasikannya kepada kita. Bagi Gadamer memahami sesuatu dengan
pemahaman yang sama sekali berbeda pemahaman sebelumnya adalah absah. Tidak ada
batasan dan paksaan bahwa pemahaman dari belakang harus mengikuti pola dan cara
yang dipahami oleh penafsir sebelumnya.
Bagi Gadamer sangat sulit bagi seorang penafsir melepaskan begitu saja
situasi historisnya. Dalam memahami persoalan masa lalu tidak serta merta paham
akan situasi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama. Karena itu suatu teks
tidak hanya disesuaikan dengan masa lampau, tetapi dapat pula disesuaikan
dengan situasi kita, dalam konteks kekinian bahkan juga bisa diproyeksikan ke
masa depan.
Gadamer berpandangan, bahwa teks terkait dengan aplikasi, penerapan
dimana teks itu diberlakukan. Teks akan hidup bila disesuaikan dengan cara dan
pola penerapannya. Dalam hal ini, Gadamer memberi contoh seorang Hakim ketika
berhadapan dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa
ketika hakim berhadapan dengan peraturan UU yang masih bersifat umum, dituntut
untuk menjabarkan aturan-aturan itu ke dalam wilayah persoalan hukum konkrit.
Seorang hakim tidak harus terpaku oleh naskah UU yang bersifat global,
melainkan dituntut untuk menyesuaikan dengan kasus yang terjadi. Posisi hakim bukan
saja merekonstruksi makna yang ada dalam UU, melainkan memproduksi makna agar
sesuai dengan persoalan yang muncul yang relatif berbeda dengan persoalan
sebelumnya. Pada saat memproduksi makna itulah, kata Gadamer sebenarnya telah
berlangsung proses pemahaman, penjabaran dan penerapan yang saling terkait.
Keputusan hakim akan dinilai bijak mana kala terdapat ketepatan pemahaman (subtilitas
intelegendi), ketepatan penjabaran (subtilitas explicandi) dan
ketepatan penerapan (subtilitas aplicandi).
Bagi Gadamer, seperti halnya juga bagi Schleirmacher dan Dilthey,
pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam pemahaman dan
interpretasi dalam menimbulkan lingkaran hermeneutika. Kita tidak dapat “lebih
dahulu” memahami “baru kemudian” membuat interpretasi. Akal pikiran kita bukan
sekedar merupakan cermin yang secara mekanis memantulkan segala cahaya yang
diterimanya. Proses pemahaman sebenarnya interpretasi itu sendiri. Akal pikiran
kita membuat perbedaan, mengutamakan, menunda, bekerja dan mendayagunakan dari
apa yang didapat dari panca indera dan dari proses intelektualnya sendiri. Bila
akal pikiran kita ”memahami”, maka di dalamnya tercakup juga interpretasi, maka
tercakup juga pemahamannya.
Hermeneutika filosofis juga dikemukakan oleh
Gadamer yaitu refleksi kritis tentang pemahaman dan interprestasi yang
berlandaskan ontologi keterbatasan temporal Desain, sebuah hermeneutika yang tidak
mengobyektivitasi pengalaman dan amat sadar dengan historikalitas pemahaman.[8]
Kesadaran akan sejarah berdampak sebagai prinsip hermeneutik yang menyebabkan pemahaman bersifat historis (historikalitas pemahaman),
pada dasarnya adalah sejarah teks-teks yang ditransmisikan lewat tradisi.
Hubungan teks dengan penafsirannya adalah relasi percakapan tempat bermainnya
logika tanya jawab. Keseluruhan konsep penting ini mengacu pada satu titik
yaitu[9] bahasa.
Dalam Kebenaran
dan Metode karya Gadamer yang paling menarik adalah konsepnya tentang
“Permainan”. Dalam hubungannya dengan pengalaman dalam bidang seni, permainan
dapat dijadikan kerangka berfikir di dalam proses memahami yang menjadi pokok
bahasan hermeneutika. Pemahaman mendampingi kita pada saat menghadapi
objek-objek di dunia ini. Kita tidak menyadari hal itu kita memahami bahwa kita
mengerti itu tidak penting bagi kita namun tanpa kesadaran itu, kita tidak
dapat menangkap objek yang kita hadapi. Contohnya saja pada setiap permainan
mempunyai aturan atau dinamika sendiri yang bersifat independen terhadap
kesadaran para pemainnya. Namun untuk dapat bermain dengan baik, pertama-tama
orang harus mengetahui lebih dahulu aturan-aturan dan dinamikanya. Sesudah
seseorang menguasai aturan-aturan dan dinamika permainan tersebut, maka segera
ia tidak menyadari adanya peraturan tersebut, bahkan ia juga tidak menyadari
permainan itu sendiri. Gadamer juga menolak konsep hermeneutika sebagai metode,
meskipun menurut dia hemeneutika adalah pemahaman, namun ia tidak menyatakan
bahwa pemahaman itu bersifat metodis.[10]
Gadamer mengangkat hasil analisisnya di dua bagian pertama ke level abstrak
dengan menganalisis bahasa sebagai media atau landasan ontologis bagi setiap
pemahaman manusia yang menyejarah, dan di balik bahasa itulah kebenaran dapat
ditemui.[11]
Analisis hermeneutika filosofis Gadamer atas proses pemahaman ini memberikan
pendasaran filosofis dan implikasi bagi ilmu humaniora. Ada tiga hal penting
dalam pemikiran hermeneutika Gadamer, yaitu:
1. Memahami kenyataan
(realitas) sesungguhnya adalah menafsirkan.
2. Semua pemahaman pada pokoknya
terikat dengan bahasa.
3. Pemahaman atas makna
teks tidak dapat dipisahkan dari aplikasinya.[12]
[1] Inyiak Ridwan
Munzir, Hermeneutika Filosofis Hans George Gadamer, (Jogjakarta, At-Ruzz Media,
2010), hlm. 40-46.
[2] Faisal
Attamimi, Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik, Jurnal STAIN PALU,
Vol 9, No. 2, Desember 2012, hlm. 322-324.
[3]
Inyiak Ridwan
Munzir, Hermeneutika Filosofis Hans George Gadamer, (Jogjakarta, At-Ruzz Media,
2010), hlm. 55-60.
[6] Abdul Chalik, Hermeneutika Untuk Kitab Suci,
(Surabaya: tp, 2010), hlm. 30
[7]
Ibid., hlm. 32.
[8] Inyiak Ridwan
Munzir, Hermeneutika Filosofis Hans George Gadamer, (Jogjakarta, At-Ruzz Media,
2010), hlm. 11.
[9] Ibid., hlm.
167.
[10]
E.Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1995) hlm.63-64.
[11]
Ibid., hlm. 103
[12]
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kotemporer, (Jakarta,
PT Rajagrafindo Persada, 2014), hlm.195-196.
0 komentar
Post a Comment