فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِن

counter

Translite

Blog Archive

Labels

Thursday, January 19, 2017

Hermeunetika Hans George Gadamer

A.    Profil Hans-Georg Gadamer
Hans-Georg Gadamer lahir di Marburg, Jerman pada tanggal 11 Februari tahun 1900. Ia terlahir sebagai anak kedua dari pasangan Emma Caroline Johanna Gewiese (1869-1904) dan Dr. Johannes Gadamer (1867-1928). Sejak berumur 2 tahun, ia pindah di kota Breslu (sekarang dikenal dengan nama Wroclau, Polandia) karena ayahnya diminta menjadi profesor luar biasa di Universitas Breslau. Ibunya adalah seorang ibu rumah tangga penganut Protestan yang taat dan konservatif. Ibunya meninggal ketika Gadamer berusia 4 tahun karena terserang penyakit diabetes. Walaupun besar dalam keluaraga Protestan yang taat, Gadamer memilih bungkam jika disodori pertanyaan mengenai imannya.

Ayah Gadamer menginginkannya untuk mengikuti jejak sang ayah sebagai ilmuan eksak (ilmu alam). Tetapi Gadamer yang sekolah menengahnya di Holy Gost School dari tahun 1907 sampai 1918 menunjukan minatnya bersebrangan dengan ayahnya. Dia lebih tertarik dengan ilmu humaniora, khususnya sastra dan filologi. Selepas pendidikan menengah, Gadamer akhirnya memasuki fakultas non-eksak di Universitas Breslau jurusan filologi. Tidak sampai satu tahun, Gadamer pindah ke Universitas Marburg. Di kampus inilah ia menyelesaikan desertasinya berjudul “The Nature of Pleasure According to Plato’s Dialogues” di bawah bimbingan Paul Natorp.
Setamatnya dari Universitas Maburg, Gadamer mencari pekerjaan sebagai dosen privat dengan syarat harus menyelesaikan Habilitation Schrift terlebih dahulu. Akhirnya dia memperoleh kedudukan sebagai privatdozent dengan Habilitation berjudul “ Studies on Greek Philosophy of Nature” dengan mengikuti kuliah Martin Heidegger tahun 1923 di Universitas Freiburg.
Gadamer mulai dikenal luas ketika menerbitkan buku Truth and Method tahun 1960, sebuah proyek intelektual yang telah di rintisnya sejak awal tahun 50-an.ketika pensiun di tahun 1968, Gadamer sudah mendapat nama internasional. Hingga akhirnya ia wafat pada tanggal 13 Maret 2002 di Rumah sakit Universitas Heidelberg. Gadamer telah menjadi saksi berbagai peristiwa penting abad XX, diantaranya Revolusi Bolshevik di Rusia, dua Perang Dunia, terbelahnya Jerman menjadi dua blok, Keruntuhan Tembok Berlin tahun 1989, dan yang paling akhir, Peristiwa 11 september 2000[1]
B.      Pengertian Hermeneutika
Hermeneutika berasal dari kata Yunani hermeneuine dan hermenia yang masing-masing berarti menafsirkan” dan “penafsiran”. Dalam  bahasa  Inggrisnya   adalah   hermeneutics. Istilah  tersebut  dalam  berbagai  bentuknya  dapat  dibaca dalam sejumlah literatur  peninggalan  Yunani Kuno, seperti  yang digunakan Aristoteles dalam sebuah risalahnya yang berjudul Peri Hermeneias (Tentang Penafsiran). Selain itu, sebagai sebuah terminologi hermeneutika juga bermuatan pandangan hidup (worldview) dari para penggagasnya.
            Dalam tradisi Yunani, istilah hermeunetika diasosiasikan dengan Hermes (Hermeios), seorang utusan dewa dalam mitologi Yunani kuno yang bertugas menyampaikan dan menerjemahkan pesan dewa ke daam bahasa manusia. Di sini terlihat bahwa posisi Hermes sangat penting sebagai penafsir kehendak dan keinginan dewa, sebab jika salah akan berakibat fatal bagi kehidupan. Ebeling membuat interpretasi yang banyak dikutip mengenai  proses penerjemahan yang dilakukan Hermes. Proses tersebut  mengandung  tigmakna  hermeneutis yang mendasar yaitu:  1)  mengungkapkan   sesuatu  yang  tadinya  masih  dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian; 2) menjelaskan   secara  rasional  sesuatu  yang  sebelumnya  masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti; dan 3) menerjemahkan suatu bahasa yang asing ke dalam yang lain. yang lebih dikuasai pembaca. Tiga pengertian  tersebut  yang terangkum dalam pengertian menafsirkan (interpreting, understanding).  sesungguhnya   berusaha juga melahirkan kembali makna tersebut  sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Komponen pokok dalam kegiatan penafsiran dengan metode hermeneutika yakni teks, konteks, dan kontekstualisasi. Keberadaan konteks dan seputar teks tidak bisa dinafikan jika kita ingin memperoleh  pemahamayang tepat terhadap  teks. Sebab, kontekslah   yang   menentukan    makna   teks,   bagaiman teks tersebut  harus dibaca, dan seberapa jauh teks tersebut  harus dipahami.
Dengan demikian, teks yang sama dalam waktu yang sama  dapat  memiliki makna  yang  berbeda  di mata “penafsir” yang berbeda; bahkan seorang penafsir yang sama dapat memberikan pemahaman teks yang sama secara berbeda-beda ketika ia berada dalam ruang dan waktu yang berbeda.8Ada tiga pemahaman   yang  dapat  diperoleh  dari  perbincangan hermeneutika yaitu: pertama, hermeneutika dipahami sebagai teknik praksis pemahaman atau penafsiran. Kedua, hermeneutika dipahami  sebagai  sebuah  metode   penafsiran.   Ketiga, hermeneutika dipahami sebagai filsafat penafsiran.
Penafsiran teks dalam perkembangan sebelumnya mencangkup masalah penafsiran secara menyeluruh. Tekstualitas yang menjadi arena beroperasinya kerja hermeneutika telah diperluas maknanya, terutama oleh Schleiermacher. Perkembangan mutaakhir menunjukkan, hermeneutika dipahami  sebagai sebuah  teori,  metodologi,  dan  praksis penafsiran,  yang digerakkan  ke arah  penangkapan  makna  dari sebuah teks atau sebuah analog teks, yang secara temporal  atau secara kultural  berjarak jauh, atau dikaburkan  oleh ideology dan kesadaran  palsu.10   Pada titik  ini, hermeneutika lantas  beranjak pada pemikiran reflektif dan spekulatif terkait dengan upaya manusia  memahami  proses  penafsiran.  Dalam bahasa Gadamer, hermeneutika dipandang sebagai einethorie der wirklichen erfahrung, yaitu suatu usaha filosofis untuk mempertanggungjawabkan pemahaman  sebagai proses ontologis dalam manusia.[2]

C.    Karya-karya Gadamer
Gadamer mempublikasikan karya-karyanya ke dalam berbagai bahasa di dunia. Keseluruhan karya itu telah dikumpulkan dalam edisi khsusus sebanyak 10 jilid Gassamelte Werke (The Complete Works). Karya utama Gadamer adalah Truth and Method, di dalamnya terangkum pemikiran-pemikiran inti yang telah ia rintis sejak masa perkuliahan. Karya-karya lain Gadamer yaitu,
a.       Karya dalam bahasa Jerman
-          Der Anfong der Philosophie. Stuttgart: Reclam, 1996
-          Das Erbe Europas: Beitrnge. Frankfurt: Suhrkamp, 1989
-          Uber die Verborgenheit der Gesundheit. Frankfurt: Suhrkamp, 1993
-          Hermeneutische Entwiirfe. Tubingen: Mohr Siebeck, 2000

b.      Terjemahan dalam Bahasa Inggris
-          The Beginning of Philosophy. Translated by Rod Coltman (New York: Continuum, 1998)
-          Dialogue and Deconstuction: The Gadamer-Derrida Encounter. Edited and translated by Diane P. Michelfder and Richard E. Palmer (Albany; Suny Press, 1989)
-          Dialogue and Dialectic: Eight Hermeneutical Studies on Plato. Transleted and edited by P. Christopher Smith (New Haven: Yale University Press, 1980)
-          The Enigma of Health: The Art of Healing in a Scientific Age. Transleted by J. Gaiger and N Walker (Standford: Standford University Press, 1980). Dsb.[3]

D.    pandangan Gadamer tentang hermeneutika
Dasar dari Hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam sejarahnya, retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Dalam beberapa tulisannya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan terutama ilmu sosial. Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika dengan tujuan utamanya sama, yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental.[4]
Gadamer menyatakan bahwa hermeneutika adalah seni, bukan proses mekanis. Jika pemahaman adalah jiwa hermeneutik, maka pemahaman tidak bisa digunakan sebagai proses mekanis. Pemahaman dan hermeneutik hanya dapat diberlakukan sebagai suatu karya seni dan tidak bisa disiapkan terlebih dahulu sebelum dibuat, tidak dapat diramalkan atau dikatakan sebelumnya.
Hermeneutik harus menghasilkan suatu esensi dalam batiniah yang merupakan realitas utama dan benar. Gadamer juga menyatakan interprestasi adalah penciptaan kembali meskipun bukan perbuatan yang kreatif. Hermeneut (penafsir) selalu memahami realitas dan manusia dengan titik tolak sekarang atau kotemporer. Dan apabila seorang hermeneut berinterprestasi mulai dari titik tolak sejarah yang menguntungkan dirinya sendiri, hal ini akan menimbulkan suatu pencampuran kebudayaan yang bermacam-macam. Tidak ada cakrawala yang tertutup yang melingkari kebudayaan adalah abstraksi.
Dalam uraian tersebut refleksi hermeneutik menjadi penting bila kita berhubungan dengan manusia yang pengalaman-pengalamannya tidak selalu bisa dipilah dan dikategorikan. Menurut Gadamer “ Refleksi hermeneutik tentang syarat-syarat pemahaman nyatalah dalam kemungkinan-kemungkinan menyatakan diri dalam kesadaran yang merumuskan pemahaman dalam sebuah bahasa tidak mulai dari nol atau berakhir pada ketidaktentuan. Model filsafat praktis ini harus mampu berfungsi sebagai theoria yang legistimasi-ontologisnya hanya dapat ditemukan di dalam intellectus infinitus (pemikiran yang luas) yang tidak dikenal dalam pengalaman eksistensial karena tidak di dukung oleh wahyu”[5]
Dari reproduksi ke produksi makna sejarah. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa tokoh-tokoh hermeneutik romantik berhasil meneguhkan hermeneutik sebagai metode yang sesuai untuk ilmu-ilmu kemanusiaan (geiteswissenschaften). Hal ini dimaksudkan agar terjadi pemilihan yang spesifik antara ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu alam. Sebab pada praktiknya, ternyata ada perbedaan dalam obyek dan penggunaan metode antara kedua cabang ilmu tersebut. Salah satu concern (perhatian) dari tokoh-tokoh hermeneutik romantik adalah sejarah atau kajian tentang teks-teks masa silam.[6]
Pemikiran Gadamer secara umum dilatarbelakangi oleh fenomenologi dan bangunan sendi-sendi pemikiran universal yang dialektika-spekulatif. Namun, pemikirannya tentang hermeneutik sebagaimana diakui sendiri oleh Gadamer, secara khusus merupakan inspirasi dari dan reaksi terhadap pemikiran Dilthey dan Schleiermacher dan para pengikut mereka yang dipandang oleh Gadamer terlalu bersifat idealistik.
Menurut Schleimacher, agar seorang mampu membaca teks-teks masa lalu, ia harus mampu menangkap pesan asli yang dikehendaki oleh pengarangnya. Untuk bisa sampai kepada maksud tersebut, hendaknya memposisikan dirinya sebagai pembaca kala teks itu ditulis. Ia membayangkan kala teks itu disusun. Hal ini dimaksudkan agar pembaca terhadap teks benar-benar mendalam dan tidak terjadi distorsi. Jadi, agar seorang mampu merekonstruksi sejarah, maka ia harus keluar dari konteks sejarahnya sendiri dan berusaha memasuki sejarah pengarangnya, “re-living and re-thinking the thoughts and feelings of an author”. Pandangan diatas dilanjutkan oleh Dilthey, Dilthey berpandangan bahwa tugas utama hermeneutik adalah menemukan makna asli atau makna yang di kehendaki pengarangnya. Agar seseorang bisa mengalami atau seolah-olah menghayati situasi historis pengarang, maka ia harus memahami kondisi psikologis sang pengarang. Oleh karena itu, seorang interpreter disamping memiliki pengetahuan yang lalu tentang sejarah, dianjurkan mempunyai kemampuan menganalisis kondisi psikologi seseorang. 
Gadamer menolak pandangan tersebut. Baginya hermeneutik tidak harus menemukan arti sebuah teks. Interpretasi bagi Gadamer tidak sama dengan mengambil suatu teks, kemudian mencari makna yang diletakkan oleh pengarang ke dalam teksnya. Arti suatu teks tidak hanya terbatas pada pengarang saja, tetapi tetap terbuka bagi adanya penafsiran baru yang sesuai dengan kreatifitas sang penafsir. Bahkan baginya tidak ada jaminan bagi pengarang asli untuk menafsiran ideal atas karyanya. Pandangan ini mengindifikasikan bahwa suatu karya yang sudah dituangkan dalam tulisan sepenuhnya menjadi pemilik pembaca. Karena itu interpretasi tidak sebatas “merekonstruksi makna” tetapi juga “memproduksi makna”.[7]
Memahami masa lalu bukan berarti menghadirkannya kepada kita, melainkan mentransformasikannya kepada kita. Bagi Gadamer memahami sesuatu dengan pemahaman yang sama sekali berbeda pemahaman sebelumnya adalah absah. Tidak ada batasan dan paksaan bahwa pemahaman dari belakang harus mengikuti pola dan cara yang dipahami oleh penafsir sebelumnya.
Bagi Gadamer sangat sulit bagi seorang penafsir melepaskan begitu saja situasi historisnya. Dalam memahami persoalan masa lalu tidak serta merta paham akan situasi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama. Karena itu suatu teks tidak hanya disesuaikan dengan masa lampau, tetapi dapat pula disesuaikan dengan situasi kita, dalam konteks kekinian bahkan juga bisa diproyeksikan ke masa depan.
Gadamer berpandangan, bahwa teks terkait dengan aplikasi, penerapan dimana teks itu diberlakukan. Teks akan hidup bila disesuaikan dengan cara dan pola penerapannya. Dalam hal ini, Gadamer memberi contoh seorang Hakim ketika berhadapan dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dimaklumi, bahwa ketika hakim berhadapan dengan peraturan UU yang masih bersifat umum, dituntut untuk menjabarkan aturan-aturan itu ke dalam wilayah persoalan hukum konkrit. Seorang hakim tidak harus terpaku oleh naskah UU yang bersifat global, melainkan dituntut untuk menyesuaikan dengan kasus yang terjadi. Posisi hakim bukan saja merekonstruksi makna yang ada dalam UU, melainkan memproduksi makna agar sesuai dengan persoalan yang muncul yang relatif berbeda dengan persoalan sebelumnya. Pada saat memproduksi makna itulah, kata Gadamer sebenarnya telah berlangsung proses pemahaman, penjabaran dan penerapan yang saling terkait. Keputusan hakim akan dinilai bijak mana kala terdapat ketepatan pemahaman (subtilitas intelegendi), ketepatan penjabaran (subtilitas explicandi) dan ketepatan penerapan (subtilitas aplicandi).
Bagi Gadamer, seperti halnya juga bagi Schleirmacher dan Dilthey, pertanyaan yang berhubungan dengan pentingnya waktu dalam pemahaman dan interpretasi dalam menimbulkan lingkaran hermeneutika. Kita tidak dapat “lebih dahulu” memahami “baru kemudian” membuat interpretasi. Akal pikiran kita bukan sekedar merupakan cermin yang secara mekanis memantulkan segala cahaya yang diterimanya. Proses pemahaman sebenarnya interpretasi itu sendiri. Akal pikiran kita membuat perbedaan, mengutamakan, menunda, bekerja dan mendayagunakan dari apa yang didapat dari panca indera dan dari proses intelektualnya sendiri. Bila akal pikiran kita ”memahami”, maka di dalamnya tercakup juga interpretasi, maka tercakup juga pemahamannya.
Hermeneutika filosofis juga dikemukakan oleh Gadamer yaitu refleksi kritis tentang pemahaman dan interprestasi yang berlandaskan ontologi keterbatasan temporal Desain, sebuah hermeneutika yang tidak mengobyektivitasi pengalaman dan amat sadar dengan historikalitas pemahaman.[8]
            Kesadaran akan sejarah berdampak sebagai prinsip hermeneutik yang menyebabkan pemahaman bersifat historis (historikalitas pemahaman), pada dasarnya adalah sejarah teks-teks yang ditransmisikan lewat tradisi. Hubungan teks dengan penafsirannya adalah relasi percakapan tempat bermainnya logika tanya jawab. Keseluruhan konsep penting ini mengacu pada satu titik yaitu[9] bahasa.
Dalam Kebenaran dan Metode karya Gadamer yang paling menarik adalah konsepnya tentang “Permainan”. Dalam hubungannya dengan pengalaman dalam bidang seni, permainan dapat dijadikan kerangka berfikir di dalam proses memahami yang menjadi pokok bahasan hermeneutika. Pemahaman mendampingi kita pada saat menghadapi objek-objek di dunia ini. Kita tidak menyadari hal itu kita memahami bahwa kita mengerti itu tidak penting bagi kita namun tanpa kesadaran itu, kita tidak dapat menangkap objek yang kita hadapi. Contohnya saja pada setiap permainan mempunyai aturan atau dinamika sendiri yang bersifat independen terhadap kesadaran para pemainnya. Namun untuk dapat bermain dengan baik, pertama-tama orang harus mengetahui lebih dahulu aturan-aturan dan dinamikanya. Sesudah seseorang menguasai aturan-aturan dan dinamika permainan tersebut, maka segera ia tidak menyadari adanya peraturan tersebut, bahkan ia juga tidak menyadari permainan itu sendiri. Gadamer juga menolak konsep hermeneutika sebagai metode, meskipun menurut dia hemeneutika adalah pemahaman, namun ia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.[10]
            Gadamer mengangkat hasil analisisnya di dua bagian pertama ke level abstrak dengan menganalisis bahasa sebagai media atau landasan ontologis bagi setiap pemahaman manusia yang menyejarah, dan di balik bahasa itulah kebenaran dapat ditemui.[11]
            Analisis hermeneutika filosofis Gadamer atas proses pemahaman ini memberikan pendasaran filosofis dan implikasi bagi ilmu humaniora. Ada tiga hal penting dalam pemikiran hermeneutika Gadamer, yaitu:
1.      Memahami kenyataan (realitas) sesungguhnya adalah menafsirkan.
2.      Semua pemahaman pada pokoknya terikat dengan bahasa.
3.      Pemahaman atas makna teks tidak dapat dipisahkan dari aplikasinya.[12]



[1] Inyiak Ridwan Munzir, Hermeneutika Filosofis Hans George Gadamer, (Jogjakarta, At-Ruzz Media, 2010), hlm. 40-46.
[2] Faisal Attamimi, Hermeneutika Gadamer dalam Studi Teologi Politik, Jurnal STAIN PALU, Vol 9, No. 2, Desember 2012, hlm. 322-324.
[3] Inyiak Ridwan Munzir, Hermeneutika Filosofis Hans George Gadamer, (Jogjakarta, At-Ruzz Media, 2010), hlm. 55-60.
[4] http://rumahfilsafat.com/2009/09/21/hermeneutika-hans-goerg-gadamer/
[6] Abdul Chalik, Hermeneutika Untuk Kitab Suci, (Surabaya: tp, 2010), hlm. 30                       
[7] Ibid., hlm. 32.
[8] Inyiak Ridwan Munzir, Hermeneutika Filosofis Hans George Gadamer, (Jogjakarta, At-Ruzz Media, 2010), hlm. 11.
[9] Ibid., hlm. 167.
[10] E.Sumaryono, Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1995) hlm.63-64.
[11] Ibid., hlm. 103
[12] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kotemporer, (Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2014), hlm.195-196.

0 komentar

Post a Comment